Thu. Aug 7th, 2025

Saya masih ingat betul langkah pertama saya di jalanan tanah Desa Sade. Debu lembut di bawah kaki, rumah-rumah beratap ilalang, dan senyum warga yang menyambut seolah kami bukan turis, tapi keluarga yang lama tak pulang.

Desa Sade bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah ruang hidup yang masih menjaga nilai-nilai tradisi Suku Sasak secara utuh. Dan di sinilah letak keistimewaannya—di tengah gempuran modernitas, Sade tetap memilih berjalan bersama alam dan budaya leluhur.

Saya datang bukan untuk sekadar melihat-lihat, tapi ingin merasakan: bagaimana rasanya tinggal, berinteraksi, dan belajar dari desa yang tetap setia menjaga jati dirinya.

Perjalanan Menuju Desa Sade: Dekat Tapi Penuh Warna

Pagi itu, saya berangkat dari Kuta Lombok menggunakan layanan sewa mobil Kuta Lombok. Sopirnya santai dan menyenangkan—banyak cerita yang ia bagikan tentang wilayah sekitar, termasuk bagaimana Kuta kini makin ramai dengan kafe dan resort, namun desa seperti Sade tetap mempertahankan kesederhanaannya.

Perjalanan hanya sekitar 20–25 menit, tapi terasa kaya. Sepanjang jalan saya melihat petani mengayuh sepeda, anak-anak berlarian di pinggir jalan, dan sawah yang mulai menguning.

Begitu sampai di pintu masuk Desa Sade, atmosfernya langsung berubah. Suasana menjadi lebih tenang, ritmenya lebih lambat, tapi terasa lebih dalam.

Rumah Adat yang Bernyawa

Hal pertama yang mencuri perhatian saya adalah bentuk rumah warga. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, tiang-tiang kayunya dibiarkan alami tanpa cat, dan atapnya dari daun alang-alang yang dijalin padat.

Tapi yang membuat saya kagum bukan hanya tampilannya, tapi bagaimana rumah ini menyatu dengan lingkungan. Ventilasi alami, bahan dari alam sekitar, dan konstruksi yang tahan panas siang dan dingin malam.

Warga bercerita bahwa rumah adat ini tidak dibangun sembarangan. Ada aturan adat, arah hadap, dan doa-doa yang harus dibaca sebelum peletakan batu pertama. Semua itu dilakukan agar rumah benar-benar menjadi tempat yang hidup, bukan hanya tempat tinggal.

Ritual dan Tradisi yang Masih Dijalankan

Saat saya berkunjung, kebetulan sedang ada prosesi nyongkolan—tradisi iring-iringan pengantin pria yang datang ke rumah pengantin wanita dengan pakaian adat lengkap, musik tradisional, dan tari-tarian.

Saya sempat ikut berjalan bersama warga. Rasanya seperti masuk ke film dokumenter hidup—semua berlangsung alami, tanpa dipaksakan.

Yang membuat saya kagum, warga tidak menjadikan tradisi ini sebagai tontonan. Mereka melakukannya karena itu bagian dari kehidupan.

Inilah esensi dari ekowisata di Desa Sade: kamu tidak datang untuk melihat sesuatu yang dibuat-buat, tapi untuk menyaksikan kehidupan yang benar-benar dijalani.

Menenun: Seni yang Sarat Makna

Salah satu aktivitas paling menarik yang saya lakukan adalah duduk bersama ibu-ibu penenun. Mereka tak hanya menenun kain, tapi juga cerita.

Motif tenun di Desa Sade bukan sekadar pola indah. Setiap motif punya arti. Ada motif untuk pernikahan, motif untuk upacara panen, bahkan ada yang khusus untuk pemuka adat.

Saya sempat mencoba menenun. Dan, jujur, susah sekali. Butuh ketelatenan dan kekuatan tangan yang luar biasa. Tapi dari situ saya mengerti, bahwa setiap lembar kain tenun adalah warisan budaya yang tak ternilai.

Alam yang Dihormati, Bukan Dieksploitasi

Desa Sade juga mengajarkan bahwa hidup selaras dengan alam bukan slogan, tapi gaya hidup.

Sumber air dijaga bersama. Sampah organik langsung diolah jadi pupuk. Bahkan kotoran kerbau pun dimanfaatkan untuk merawat lantai rumah agar tetap kokoh dan hangat.

Saya sempat ikut ke ladang bersama seorang bapak tua. Ia mengajarkan saya cara memilih daun pisang untuk dibawa pulang, dan bagaimana menanam sayur dengan sistem tanam tumpang sari.

Hal-hal kecil yang kadang kita anggap sepele, di sini justru jadi ilmu yang diwariskan lintas generasi.

Tak Ada WiFi, Tapi Banyak Interaksi

Salah satu hal yang paling saya syukuri selama di Desa Sade adalah… minimnya sinyal. Awalnya saya panik—bagaimana saya akan update story atau cek email? Tapi setelah beberapa jam, saya justru menikmati kebebasan itu.

Saya lebih banyak ngobrol. Mendengar cerita. Duduk bareng warga di bale-bale bambu. Ngopi dan makan singkong goreng sambil menatap langit sore.

Ekowisata di Sade memberi ruang bagi kita untuk hadir sepenuhnya—tanpa gangguan notifikasi, tanpa kebutuhan untuk selalu membagikan.

Mengapa Ekowisata di Desa Sade Layak Dicoba?

Kalau kamu lelah dengan wisata yang serba cepat, penuh keramaian, dan hanya sekadar foto-foto—Sade bisa jadi jawabannya.

Di sini kamu bisa:

  • Menyaksikan tradisi yang masih hidup

  • Belajar dari alam tanpa harus jauh-jauh ke hutan

  • Merasakan keramahan warga yang tulus

  • Pulang dengan perspektif baru tentang kehidupan

Saya meninggalkan Desa Sade dengan perasaan campur aduk: bahagia, tenang, dan sedikit haru.

Bahagia karena bisa belajar banyak. Tenang karena jauh dari hiruk-pikuk. Dan haru karena masih ada tempat seperti ini yang memilih berjalan perlahan dalam dunia yang serba cepat.

Jika kamu mencari pengalaman yang jujur, mendalam, dan bermakna—Desa Sade siap menyambutmu.

Dan pastikan kamu berangkat dengan pilihan transportasi yang tepat. Cari yang nyaman, aman, dan bisa jadi awal dari perjalanan tak terlupakanmu ke jantung budaya Lombok.

By Widodo