Beberapa tahun terakhir, Mandalika makin dikenal dunia. Bukan cuma karena sirkuit balapnya, tapi karena kawasan ini menyimpan banyak spot eksotis yang bisa dinikmati dari darat maupun laut. Dan satu pengalaman yang akhirnya bikin saya benar-benar jatuh cinta pada Lombok adalah… naik fast boat dari perairan Mandalika.
Serius. Bukan cuma pemandangannya yang bikin speechless, tapi juga sensasi kebebasan dan adrenalin saat perahu melaju kencang di tengah laut biru.
Awal Cerita: Bangun Pagi, Siap-siap Seru-seruan
Hari itu cuaca cerah. Kami—saya, dua teman lama dari Jogja, dan seorang lokal guide—berangkat pagi dari hotel di Kuta Mandalika. Tujuan utama kami memang naik fast boat, tapi jujur aja, saya udah senang dari awal perjalanan. Udara Lombok di pagi hari tuh beda. Segar, hangat, dan kayak menyambut siapa saja yang datang dengan niat bersenang-senang.
Kami sempat mampir dulu ke pasar tradisional buat beli jajanan ringan: pisang goreng, lemper, dan kopi hitam sachet. Lucu juga, naik boat tapi bekalnya kayak mau piknik di taman.
Untuk mobilitas selama di Lombok, kami pakai sewa mobil Lombok murah dari penyedia lokal yang recommended. Sopirnya ramah, tahu spot-spot tersembunyi, dan tahu kapan harus ngebut, kapan harus pelan biar kami bisa nikmatin view sepanjang jalan.
Menuju Dermaga: Perjalanan Singkat Penuh Pemandangan
Jalan menuju titik keberangkatan fast boat di Mandalika cukup mulus. Di kanan-kiri kami disuguhi perbukitan hijau, sapi-sapi yang lewat santai, dan sesekali laut mulai terlihat berkilau di kejauhan.
Saya pribadi suka bagian ini—transisi antara darat dan laut. Rasanya kayak hidup mulai berpindah dari satu cerita ke cerita lain. Apalagi begitu sampai di tepi dermaga, dan melihat fast boat yang akan kami naiki mengapung ringan, terikat tali, siap diajak berlari di atas ombak.
Naik Fast Boat: Angin, Air, dan Teriakan Bahagia
Begitu mesin dinyalakan dan kapal mulai menjauh dari daratan, saya tahu ini bakal jadi hari yang nggak bakal cepat saya lupakan.
Fast boat itu kecil tapi lincah. Begitu lepas dari teluk, kecepatan ditambah. Ombak mulai terasa, kapal memantul-pantul ringan, dan tawa kami pecah. Angin laut menerpa wajah, dan percikan air mengenai kulit. Sensasinya? Campuran antara kebebasan, euforia, dan sedikit rasa takjub.
Kami melewati beberapa pantai tersembunyi dari arah laut. Ada teluk sepi yang hanya bisa dicapai lewat air, batu-batu karang besar yang bentuknya unik, dan air laut sebening kaca. Beberapa kali kami berhenti untuk snorkeling. Saya sempat melihat ikan badut, karang berwarna-warni, dan bahkan satu penyu kecil berenang menjauh perlahan.
Momen Diam di Tengah Laut
Ada satu momen di mana kapten mematikan mesin dan membiarkan perahu mengapung. Semua jadi hening. Kami duduk diam, menatap laut luas. Jauh dari daratan, tak terdengar suara lain selain angin dan ombak kecil.
Saat-saat seperti ini bikin saya mikir—betapa luas dunia ini, dan betapa sering kita lupa menikmati hal sederhana seperti duduk diam di atas air.
Saya sempat baring sebentar di sisi kapal, merentangkan tangan, dan menutup mata. Rasanya… lepas. Mungkin inilah yang dicari orang-orang dari liburan: bukan sekadar tempat baru, tapi ruang untuk merasa bebas.
Makan Siang di Tengah Laut? Bisa Banget!
Setelah puas berkeliling, kapten kapal ngajak kami menuju spot tenang di dekat batu karang besar. Di sana, kami buka bekal dan makan siang di atas kapal.
Bayangin: nasi bungkus, sambal terasi, dan tempe goreng… dimakan sambil kaki menggantung di sisi kapal, ditiup angin laut, ditemani pemandangan 360 derajat warna biru. Mewahnya bukan main.
Kembali ke Darat: Energi Baru di Tiap Langkah
Saat fast boat kembali merapat ke dermaga, saya rasanya nggak pengen turun. Tapi begitu kaki menginjak pasir lagi, ada rasa puas yang nggak bisa dijelasin. Kami semua senyum-senyum sendiri, saling pandang, dan sepakat: pengalaman ini harus diulang.
Kami naik mobil kembali ke penginapan lewat jalur berbeda—lewat bukit-bukit kecil yang menghadap langsung ke garis pantai selatan. Sopir kami bilang, “Ini jalur favorit saya kalau habis dari laut.” Dan saya ngerti kenapa.
Angin senja menyambut kami di perjalanan pulang. Rambut basah, kulit agak gosong, tapi hati hangat.